Rabu, 10 Oktober 2012

DEPRESI

DI SUSUN OLEH
DONISIUS
11010


BAB I
PENDAHULUAN
Depresi adalah suatu jenis alam perasaan atau emosi yang disertai komponen psikologik : rasa susah, murung, sedih, putus asa -dan tidak bahagia, serta komponen somatik: anoreksia, konstipasi, kulit lembab (rasa dingin), tekanan darah dan denyut nadi sedikit menurun.
Depresi merupakan gangguan alam perasaan yang berat dan dimanifestasikan dengan gangguan fungsi social dan fungsi fisik yang hebat, lama dan menetap pada individu yang bersangkutan.
Depresi disebabkan oleh banyak faktor antara lain : faktor heriditer dan genetik, faktor konstitusi, faktor kepribadian pramorbid, faktor fisik, faktor psikobiologi, faktor neurologik, faktor biokimia dalam tubuh, faktor keseimbangan elektrolit dan sebagainya.
Depresi biasanya dicetuskan oleh trauma fisik seperti penyakit infeksi, pembedahan, kecelakaan, persalinan dan sebagainya, serta faktor psikik seperti kehilangan kasih sayang atau harga diri dan akibat kerja keras.
Depresi merupakan reaksi yang normal bila berlangsung dalam waktu yang pendek dengan adanya faktor pencetus yang jelas, lama dan dalamnya depresi sesuai dengan faktor pencetusnya. Depresi merupakan gejala psikotik bila keluhan yang bersangkutan tidak sesuai lagi dengan realitas, tidak dapat menilai realitas dan tidak dapat dimengerti oleh orang lain.





BAB II
TINJAUAN TEORI
Pengertian
Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya kegairahan hidup. (Hawari, 2001, hal. 19).

Proses Terjadinya Masalah
Depresi disebabkan oleh banyak faktor antara lain : faktor heriditer dan genetik, faktor konstitusi, faktor kepribadian pramorbid, faktor fisik, faktor psikobiologi, faktor neurologik, faktor biokimia dalam tubuh,A faktor keseimbangan elektrolit dan sebagainya.
Depresi  biasanya dicetuskan oleh trauma fisik seperti penyakit infeksi, pembedahan, kecelakaan, persalinan dan sebagainya, serta faktor psikik seperti kehilangan kasih sayang atau harga diri dan akibat kerja keras.
Depresi merupakan reaksi yang normal bila berlangsung dalam waktu yang pendek dengan adanya faktor pencetus yang jelas, lama dan dalamnya depresi sesuai dengan faktor pencetusnya. Depresi merupakan gejala psikotik bila keluhan yang bersangkutan tidak sesuai lagi dengan realitas, tidak dapat menilai realitas dan tidak dapat dimengerti oleh orang lain.

Rentang Respon Emosional
Menurut Purwaningsih (2009) Reaksi Emosi dibagi menjadi dua yaitu :
Reaksi Emosi Adaptif
Merupakan reaksi emosi yang umum dari seseorang terhadap rangsangan yang diterima dan berlangsung singkat. Ada dua macam reaksi adaptif :
Respon emosi yang responsive
Keadaan individu yang terbuka dan sadar akan perasaannya. Pada rentang ini individu dapat berpartisipasi dengan dunia eksternal dan internal.
Reaksi kehilangan yang wajar
Merupakan posisi rentang yang normal dialami oleh individu yang mengalami kehilangan. Pada rentang ini individu menghadapi realita dari kehilangan dan mengalami proses kehilangan, misalnya bersedih, berhenti kegiatan sehari-hari, takut pada diri sendiri, berlangsung tidak lama.

Reaksi Emosi Maladaptif
Merupakan reaksi emosi yang sudah merupakan gangguan, respon ini dapat dibagi 3 tingkatan, yaitu :
Supresi
Tahap awal respon emosional maladaptive, individu menyangkal, menekan atau menginternalisasi semua aspek perasaanya terhadap lingkungan.
Reaksi kehilangan yang memanjang
Supresi memanjang sehingga mengganggu fungsi kehidupan individu.
Gejala : bermusuhan, sedih berlebihan, rendah diri.
Mania/Depresi
Merupakan respon emosional yang berat dan dapat dikenal melalui intensitas dan pengaruhnya terhadap fisik individu dan fungsi social.

Patopsikologi
Alam perasaan adalah kekuatan / perasaan hati yang mempengaruhi seseorang dalam jangka waktu yang lama setiap orang hendaknya berada dalam afek yang tidak stabil tapi tidak berarti orang tersebut tidak pernah sedih, kecewa, takut, cemas, marah dan sayang, emosi ini terjadi sebagai kasih sayang seseorang terhadap rangsangan yang diterimanya dan lingkungannya baik internal maupun eksternal.
Reaksi ini bervariasi dalam rentang dari reaksi adaptif sampai maladaptive.
Penyebab Terjadinya Depresi
Penyebab utama depresi pada umumnya adalah rasa kecewa dan kehilangan. Tak ada orang yang mengalami depresi bila kenyataan hidupnya sesuai dengan keinginan dan harapannya.
Kekecewaan
Karena adanya tekanan dan kelebihan fisik menyebabkan seseorang menjadi jengkel, tidak dapat berpikir sehat atau kejam pada saat-saat khusus jika cinta untuk iri sendiri lebih besar dari pada cinta pada orang lain yang menghimpun kita, kita akan terluka, tidak senang dan cepat kecewa, hal ini langkah pertama depresi jika luka itu direnungkan terus-menerus akan menyebabkan kekesalan dan keputusasaan.
Kurang Rasa Harga Diri
Ciri-ciri universal yang lain dari orang depresi adalah kurangnya rasa harga diri, sayangnya kekurangan ini cenderung dilebih-lebihkan menjadi ekstrim, karena harapan-harapan yang realistis membuat dia tidak mampu merestor dirinya sendiri, hal ini memang benar khususnya pada individu yang ingin segalanya sempurna yang tak pernah puas dengan prestasi yang dicapainya.
Perbandingan yang Tidak Adil
Setiap kali kita membandingkan diri dengan seseorang yang mempunyai nilai lebih baik dari kita dimana kita merasa kurang dan tidak bisa sebaik dia maka depresi mungkin terjadi.
Penyakit
Beberapa faktor yang dapat mecetuskan depresi adalah organic contoh individu yang mempunyai penyakit kronis kanker payudara dapat menyebabkan depresi.
Aktivitas Mental yang Berlebihan
Orang yang produktif dan aktif sering menyebabkan depresi
Penolakan
Setiap manusia butuh akan rasa cinta, jika kebutuhan akan rasa cinta itu tak terpenuhi maka terjadilah depresi. (Anonymous, 2004).

Menurut Nanda (2005-2006) adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan sedih kronis adalah :
Kematian orang yang dicintai
Pengalaman sakit mental/ fisik kronis, cacat (retardasi mental, sklerosis multiple, prematuritas, spina bifida, kelainan persalinan, sakit mental kronis, infertilitas, kanker, sakit Parkinson)
Pengalaman satu atau lebih kejadian yang memicu (krisis dalam manajemen penyakit, krisis berhubungan dengan stase perkembangan, kehilangan kesempatan yang dapat meningkatkan perkembangan, norma social atau personal)
Ketergantungan tak henti pada pelayanan kesehatan dengan mengingat kehilangan.

Gejala Klinis Depresi
Menurut Hawari (2001) secara lengkap gejala klinis depresi adalah sebagai berikut :
Aspek disforik, yaitu perasaan murung, sedih, gairah hidup menurun, tidak semangat, merasa tidak berdaya.
Perasaan bersalah, berdosa, penyesalan.
Nafsu makan menurun
Berat badan menurun
Konsentrasi dan daya ingat menurun
Gangguan tidur : insomnia (sukar/tidak dapat tidur) atau sebaliknya hipersomnia (terlalu banyak tidur). Gangguan ini sering kali disertai dengan mimpi-mimpi yang tidak menyenangkan, misalnya mimpi orang yang telah meninggal.
Agitasi atau retardasi psikomotor (gaduh gelisah atau lemah tak berdaya)
Hilangnya rasa senang, semangat dan minat, tidak suka lagi melakukan hobi, kreativitas menurun, produktivitas juga menurun.
Gangguan seksual (libido menurun)
Pikiran-pikiran tentang kematian, bunuh diri.

Tingkat Depresi
Depresi Ringan
Sementara, alamiah, adanya rasa pedih perubahan proses  komunikasi social dan rasa tidak nyaman.
Depresi Sedang
Afek : murung, cemas, kesal, marah, menangis.
Proses pikir : perasaan sempit, berfikir lambat, berkurang komunikasi verbal, komunikasi non verbal meningkat.
Pola komunikasi : bicara lambat, berkurang komunikasi verbal, komunikasi non verbal meningkat.
Partisipasi social : menarik diri, tak mau bekerja/ sekolah, mudah tersinggung
Depresi Berat
Gangguan Afek : pandangan kosong, perasaan hampa, murung, inisiatif berkurang.
Gangguan proses pikir
Sensasi somatic dan aktivitas motorik : diam dalam waktu lama, tiba-tiba hiperaktif, kurang merawat diri, tak mau makan dan minum, menarik diri, tidak peduli dengan lingkungan.

Penatalaksanaan Depresi
Menurut Tomb (2003, hal. 61), semua pasien depresi harus mendapatkan psikoterapi, dan beberapa memerlukan tambahan terapi fisik. Kebutuhan terapi khusus bergantung pada diagnosis, berat penyakit, umur pasien, respon terhadap terapi sebelumnya.
Terapi Psikologik
Psikoterapi suportif selalu diindikasikan. Berikan kehangatan, empati, pengertian dan optimistic. Bantu pasien mengidentifikasi dan mengekspresikan hal-hal yang membuatnya prihatin dan melontarkannya. Identifikasi faktor pencetus dan bantulah untuk mengoreksinya. Bantulah memecahkan problem eksternal (missal, pekerjaan, menyewa rumah), arahkan pasien terutama pada periode akut dan bila pasien tidak aktif bergerak. Latih pasien untuk mengenal tanda-tanda dekompensasi yang akan datang. Temui pasien sesering mungkin (mula-mula 1-3 kali per minggu) dan secara teratur, tetapi jangan sampai tidak berakhir atau untuk selamanya. Kenalilah bahwa beberapa pasien depresi dapat memprovokasi kemarahan anda (melalui kemarahan, hostilitas, dan tuntutan yang tak masuk akal, dll). Psikoterapi berorientasi tilikan jangka panjang, dapat berguna pada pasien depresi minor kronis tertentu dan beberapa pasien dengan depresi mayor yang mengalami remisi tetapi mempunyai konflik.
Terapi Kognitif – Perilaku dapat sangat bermanfaat pada pasien depresi sedang dan ringan. Diyakini oleh sebagian orang sebagai “ketidak berdayaan yang dipelajari”, depresi diterapi dengan memberikan pasien latihan keterampilan dan memberikan pengalaman-pengalaman sukses. Dari perspektif kognitif, pasien dilatih untuk mengenal dan menghilangkan pikiran-pikiran negative dan harapan-harapan negative. Terapi ini mencegah kekambuhan.
Deprivasi tidur parsial (bangun dipertengahan malam dan tetap terjaga sampai malam berikutnya), dapat membantu mengurangi gejala-gejala depresi mayor buat sementara. Latihan fisik (berlari, berenang) dapat memperbaiki depresi, dengan mekanisme biologis yang belum dimengerti dengan baik.

Terapi fisik
Semua depresi mayor dan depresi kronis atau depresi minor yangtidak membaik membutuhkan antidepresan (70%-80% pasien berespon terhadap antidepresan), meskipun yang mencetuskan jelas terlihat atau dapat diidentifikasi. Mulailah dengan SSRI atau salah satu anti depresan terbaru. Apabila tidak berhasil, pertimbangkan antidepresan trisiklik, atao MAOI (terutama pada depresi “atipikal”) atau kombinasi beberapa obat yang efektif bila obat yang ertama tidak berhasil. Waspadalah terhadap efek samping dan bahwa antidepresan dapat mencetuskan episode manic pada beberapa pasien bipolar (10% dengan TCA, dengan SSRI lebih rendah, tetapi semua konsep tentang “presipitasi manic” masih diperdebatkan). Setelah sembuh dari depresi pertama, obat dipertahankan untuk beberapa bulan, kemudian diturunkan, meskipun demikian pada beberapa pasien setelah satu atau lebih kekambuhan, membutuhkan obat rumatan untuk periode panjang. Anitdepresan saja (tunggal) tidak dapat mengobati depresi psikosis unipolar.
Litium efektif dalam membuat remisi gangguan bipolar, mania dan mungkin bermanfaat dalam pengobatan depresi bipolar akut dan beberapa depresi unipolar. Obat ini cukup efektif pada bipolar serta untuk mempertahankan remisi dan begitu pula pada pasien unipolar. Antikonvulsan juga tampaknya sama baik dengan litium untuk mengobati kondisi akut, meskipun kurang efektif untuk rumatan. Antidepresan dan litium dapat dimulai secara bersama-sama dan litium diteruskan setelah remisi. Psikotik, paranoid atau pasien sangat agitasi membutuhkan antipsikotik, tunggal atau bersama-sama dengan antidepresan, litiun atau ECT- antidepresan antipikal yang baru saja terlihat efektif.
ECT mungkin merupakan terapi terpilih :
Bila obat tidak berhasil setelah satu atau lebih dari 6 minggu pengobatan,
Bila kondisi pasien menuntut remisi segera (missal, bunuh diri yang akut)
Pada beberapa depresi psikotik
Pada pasien yang tidak dapat mentoleransi obat (missal, pasien tua yang berpenyakit jantung). Lebig dari 90% pasien memberikan respons.


Pengkajian
Faktor Predisposisi
Faktor Genetik
Mengemukakan transmisi gangguan alam perasaan diteruskan melalui garis keturunan. Frekuensi gangguan alam perasaan pada kembar monozigote dari dizigote.
Teori Agresi Berbalik pada Diri Sendiri
Mengemukakan bahwa depresi diakibatkan dari perasaan marah yang dialihkan pada diri sendiri.
Diawali dengan proses kehilangan terjadi ambivalensi terhadap objek yang hilang   tidak mampu mengekspresikan kemarahan    marah pada diri sendiri.
Teori Kehilangan
Berhubungan dengan faktor perkembangan : misalnya kehilangn orang tua pada masa anak, perpisahan yang bersifat traumatis dengan orang yang sangat dicintai. Individu tidak berdaya mengatsi kehilangan.
Teori Kepribadian
Mengemukakan bahwa tipe kepribadian tertentu menyebabkan seseorang mengalami depresi atau mania.
Teori Kognitif
Mengemukakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang dipengaruhi oleh penilaian negative terhadap diri sendiri, lingkungan dan masa depan.
Teori Belajar Ketidakberdayaan
Mengemukakan bahwa depresi dilmulai dari kehilangan kendali diri, lalu menjdi pasif dan tidak mampu menghadapi masalah. Kemidian individu timbul dengan keyakinan akan ketidakmampuam mengendalikan kehidupan sehingga ia tidak berupaya mengembangkan respon yang adaptif.
Model Prilaku
Mengemukakan bahwa depresi terjadi karena kurangnya pujian positif selama berinteraksi dengan lingkungan.
Model Biologis
Mengemukakan bahwa depresi terjadi prubahan kimiawi, yaitu defisiensi katekolamin, tidak berfungsi endokrin dan hipersekresi kortisol.

Faktor Presipitasi
Stresor yang dapat menyebabkan gangguan alam perasaan meliputi faktor biologis, psikologis, dan social budaya. Faktor biologis meliputi perubahan fisiologis yang disebabkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik seperti infeksi, neoplasma dan ketidakseimbangan metabolisme. Faktor psikologis meliputi kehilangan kasih sayang, termasuk kehilangan cinta, seseorang dan kehilangan harga diri. Faktor social budaya meliputi kehilangan peran, perceraian, kehilangan pekerjaan.

Perilaku dan Mekanisme Koping
Perilaku yang berhubungan dengan depresi bervariasi. Pada keadaan depresi kesedihan dan kelambanan dapat menonjol atau dapat terjadi agitasi. Mekanisme koping yang digunakan pada reaksi kehilangan yang memanjang adalah denial dan supresi, hal ini untuk menghindari tekanan yang hebat.


Analisa Data
Data Subyektif
Tidak mampu mengutarakan pendapat dan malas berbicara.Sering mengemukakan keluhan somatik. Merasa dirinya sudah tidak berguna lagi, tidak berarti, tidak ada tujuan hidup, merasa putus asa dan cenderung bunuh diri.


Data Obyektif
Gerakan tubuh yang terhambat, tubuh yang melengkung dan bila duduk dengan sikap yang merosot, ekspresi wajah murung, gaya jalan yang lambat dengan langkah yang diseret.Kadangkadang dapat terjadi stupor. Pasien tampak malas, lelah, tidak ada nafsu makan, sukar tidur dan sering menangis.Proses berpikir terlambat, seolaholah pikirannya kosong, konsentrasi terganggu, tidak mempunyai minat, tidak dapat berpikir, tidak mempunyai daya khayal Pada pasien psikosa depresif terdapat perasaan bersalah yang mendalam, tidak masuk akal (irasional), waham dosa, depersonalisasi dan halusinasi.Kadangkadang pasien suka menunjukkan sikap bermusuhan (hostility), mudah tersinggung (irritable) dan tidak suka diganggu.

Diagnosa Keperawatan
Resiko mencederai diri berhubungan dengan depresi
Gangguan alam perasaan: depresi berhubungan dengan koping maladaptif.

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tujuan umum: Klien tidak mencederai diri.
Tujuan khusus
Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan:
Perkenalkan diri dengan klien
Lakukan interaksi dengan pasien sesering mungkin dengan sikap empat
Dengarkan pemyataan pasien dengan sikap sabar empati dan lebih banyak memakai bahasa non verbal. Misalnya: memberikan sentuhan, anggukan
Perhatikan pembicaraan pasien serta beri respons sesuai dengan keinginanny
Bicara dengan nada suara yang rendah, jelas, singkat, sederhana dan mudah dimengerti
Terima pasien apa adanya tanpa membandingkan dengan orang lain.

Klien dapat menggunakan koping adaptif
Tindakan:
Beri Data Obyektifrongan untuk mengungkapkan perasaannya dan mengatakan bahwa perawat memahami apa yang dirasakan pasien.
Tanyakan kepada pasien cara yang biasa dilakukan mengatasi perasaan sedih/menyakitkan
Diskusikan dengan pasien manfaat dari koping yang biasa digunakan
Bersama pasien mencari berbagai alternatif koping.
Beri Data Obyektifrongan kepada pasien untuk memilih koping yang paling tepat dan dapat diterima
Beri Data Obyektifrongan kepada pasien untuk mencoba koping yang telah dipilih
Anjurkan pasien untuk mencoba alternatif lain dalam menyelesaikan masalah.
Klien terlindung dari perilaku mencederai diri
Tindakan:
Pantau dengan seksama resiko bunuh diri/melukai diri sendiri.
Jauhkan dan simpan alat-alat yang dapat digunakan olch pasien untuk mencederai dirinya/orang lain, ditempat yang aman dan terkunci.
Jauhkan bahan alat yang membahayakan pasien.
Awasi dan tempatkan pasien di ruang yang mudah dipantau oleh peramat/petugas.
Klien dapat meningkatkan harga diri
Tindakan:
Bantu untuk memahami bahwa klien dapat mengatasi keputusasaannya.
Kaji dan kerahkan sumber-sumber internal individu.
Bantu mengidentifikasi sumber-sumber harapan (misal: hubungan antar sesama, keyakinan, hal-hal untuk diselesaikan).
Klien dapat menggunakan dukungan sosial
Tindakan:
Kaji dan manfaatkan sumber-sumber ekstemal individu (orang-orang terdekat, tim pelayanan kesehatan, kelompok pendukung, agama yang dianut).
Kaji sistem pendukung keyakinan (nilai, pengalaman masa lalu, aktivitas keagamaan, kepercayaan agama).
Lakukan rujukan sesuai indikasi (misal : konseling pemuka agama).
Klien dapat menggunakan obat dengan benar dan tepat
Tindakan:
Diskusikan tentang obat (nama, Data Obyektifsis, frekuensi, efek dan efek samping minum obat).
Bantu menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar pasien, obat, Data Obyektifsis, cara, waktu).
Anjurkan membicarakan efek dan efek samping yang dirasakan.
Beri reinforcement positif bila menggunakan obat dengan benar.











BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Depresi adalah suatu jenis alam perasaan atau emosi yang disertai komponen psikologik : rasa susah, murung, sedih, putus asa -dan tidak bahagia, serta komponen somatik: anoreksia, konstipasi, kulit lembab (rasa dingin), tekanan darah dan denyut nadi sedikit menurun.
Depresi disebabkan oleh banyak faktor antara lain : faktor heriditer dan genetik, faktor konstitusi, faktor kepribadian pramorbid, faktor fisik, faktor psikobiologi, faktor neurologik, faktor biokimia dalam tubuh, faktor keseimbangan elektrolit dan sebagainya.
Tingkat Depresi
Depresi Ringan
Sementara, alamiah, adanya rasa pedih perubahan proses  komunikasi social dan rasa tidak nyaman.
Depresi Sedang
Afek : murung, cemas, kesal, marah, menangis.
Proses pikir : perasaan sempit, berfikir lambat, berkurang komunikasi verbal, komunikasi non verbal meningkat.
Pola komunikasi : bicara lambat, berkurang komunikasi verbal, komunikasi non verbal meningkat.
Partisipasi social : menarik diri, tak mau bekerja/ sekolah, mudah tersinggung
Depresi Berat
Gangguan Afek : pandangan kosong, perasaan hampa, murung, inisiatif berkurang.
Gangguan proses pikir
Sensasi somatic dan aktivitas motorik : diam dalam waktu lama, tiba-tiba hiperaktif, kurang merawat diri, tak mau makan dan minum, menarik diri, tidak peduli dengan lingkungan
DAFTAR PUSTAKA

http://tenreng.wordpress.com/2009/02/19/asuhan-keperawatan-dengan-pasien-depresi/

















ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DEPRESI





Di susun oleh :
A.Bonifasya
Adelson Devry
Angel Berta Fau
Mega Novaria
Nurmaria


AKADEMI KEPERAWATAN YUKI
JAKARTA
2012

KATA PENGANTAR

Puji Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan anugerahnya makalah yang       berjudul”Askep pada klien dengan depresi” dapat terselesaikan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Manajemen. Dalam penulisan makalah ini penulis mengalami hambatan namun berkat bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
Ibu Theodora Manurung .,SMIP selaku dosen pembimbing
Orang tua dan saudara-saudari yang telah banyak memberikan bantuan dorongan baik moral maupun material
Rekan-rekan mahasiswa Aper Yuki yang telah membantu memberikan dorongan dan partisipasinya untuk menyelesaikan makalah ini
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dari para pembaca yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini.
Demikian makalah ini kami susun, semoga isi dari makalah ini bermanfaat bagi para mahasiswa Akademi Keperawatan pada khususnya.
   

Jakarta,  Mei 2012


Penulis

i


ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR        i
DAFTAR ISI        ii
BAB  I    PENDAHULUAN         1
BAB II    LANDASAN TEORI
Pengertian         2
Proses terjadianya masalah        2
Tentang respon emosional        2
Patopsikologi        3
Penatalaksanaan depresi        6
Pengkajian        8
Analisa data        9
Diagnose keperawatan        10
Rencana tindakan keperawatan        10

BAB     III KESIMPULAN        13
DAFTAR PUSTAKA        14





ASUHAN KEPERAWATAN HERPES ZOSTER

ASUHAN KEPERAWATAN
 HERPES ZOSTER



Disusun Oleh :
DONISIUS
11010


Akademi Keperawatan
Yayasan Universitas Keperawatan Indonesia

Jakarta
2012




KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat  Tuhan  Yang  Maha  Esa atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Asuhan Keperawatan Dengan Herpes Zoster”.
  Adapun  makalah  ini  dibuat  untuk  memenuhi  tugas  mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah III  pada  penyusunan  makalah  ini  penulis  menemukan hambatan,  namun  demikian  hambatan  itu  dapat  diatasi  berkat  bantuan  dari  berbagai pihak  oleh karena  itu   pada  kesempatan  ini  penulis  mengucapkan  terima kasih  yang  begitu  besar  kepada  yang  terhormat:
Riama Marlyn S.Kp, MKep. selaku  dosen pengajar  mata  kuliah Keperawatan Medikal Bedah.
Riama Marlyn S.Kp, MKep. Selaku  direktur   Akademi  Keperawatan  Universitas  Kristen  Indonesia.
Orang  tua  yang  telah  memberikan  dorongan  baik  moral  maupun  materi.
Teman-teman Akademi  Keperawatan  Universitas  Kristen  Indonesia  yang  telah  memberikan  dukungan  dalam  pembuatan  makalah  ini. 
Penulis  menyadari  bahwa  makalah  ini  masih  banyak  kekurangan,  untuk  itu  penulis  mengharapkan  kritik  dan saran  yang  sifatnya  membangun  guna  kesempurnaan  makalah ini.  Semoga makalah ini  berguna  bagi  para  pembaca  khususnya  mahasiswa/mahasiswi  Akademi  Keperawatan Yayasan Universitas  Kristen  Indonesia.

Jakarta, Juni 2012
BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang
Herpes zoster adalah penyakit setempat yang terjadi terutama pada orang tua yang khas ditandai oleh adanya nyeri radikuler yang unilateral serta adanya erupsivesikuler yang terbatas pada dermatom yang diinervasi oleh serabut saraf spinal maupunganglion serabut saraf sensoris dari nervus cranialis. Herpes zoster rupanya menggambarkan reaktivasi dari refleksi endogen yangtelah menetap dalam bentuk laten mengikuti infeksi varisela yang telah ada sebelumnya.Hubungan varisela dan herpes zoster pertama kali ditemukan oleh Von Gokay padatahun 1888. ia menemukan penderita anak -anak yang dapat terkena varisela setelahmengalami kontak dengan individu yang mengalami infeksi herpes zoster.Implikasi neurologik dari distribusi lesi semental
herpes zoster diperkenalkanoleh Richard Bright tahun 1931 dan adanya peradangan ganglion sensoris dan saraf spinal pertama kali diuraikan oleh Von Bareusprung pada tahun 1862.
herpes zoster dapat mengenai kedua jenis kelamin dan semua ras dengan frekuensi yang sama. HerpesZoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster yangmenyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelahinfeksi primer.

Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Agar  mahasiswa dapat memahami dan mengetahui tentang untuk melaksanakan asuhan keperawatan pada klien herpes zoster. tujuan khususAgar mahasiswa mampu menjelaskan pengertian herpes zossterAgar mahasiswa mampu menjelaskan manifestasi herpes zossterAgar mahasiswa mampu menjelaskan pengkajian klien herpes zosterAgar mahasiswa mampu menjelaskan diagnosa padaklien herpes zoste
Tujuan Khusus
Agar mahasiswa mampu menjelaskan pengertian herpes zosster
Agar mahasiswa mampu menjelaskan manifestasi herpes zosster
Agar mahasiswa mampu menjelaskan pengkajian klien herpes zoster
Agar mahasiswa mampu menjelaskan diagnosa padaklien herpes zoster
Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah mempelajari buku-buku, internet dan sumber lainnya yang berguna untuk mengamati masalah Retardasi Mental

Sistematika Penulisan
BAB I        Pendahuluan
Yang terdiri dari : Latar belakang ,Tujuan , Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.
BAB II        Konsep Dasar
Yang terdiri dari : Pengertian , Etiologi , Patofisiologi , Komplikasi , Manifestasi klinik , Pemeriksaan Penunjang , Penatalaksanaan , Asuhan Keperawatan.
BAB III    Penutup
        Yang terdiri dari : Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA


BAB II
TINJAUAN TEORI

Pengertian
Herpes Zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer. Herpes zoster adalah peradangan akut pada kulit dan mukosa yang disebabkan oleh virus varicella zoster.
Herpes zoster adalah penyakit setempat yang terjadi terutama pada orang tua yang khas ditandai oleh adanya nyeri radikuler yang unilateral serta adanya erupsivesikuler yang terbatas pada dermatom yang diinervasi oleh serabut saraf spinal maupunganglion serabut saraf sensoris dari nervus cranialis

Etiologi
Herpes zoster  disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV). VZV mempunyai kapsid yang tersusun dari 162 subunit protein dan berbentuk simetri ikosehedral dengan diameter 100nm. Virion lengkapnya berdiameter 150-200 nm dan hanya virion yang berselubung yang bersifat infeksius.
infeksiositas virus ini dengan cepat dapat dihancurkan oleh bahan organic, detergen, enzim proteolitik, panas, dan lingkungan pH yang tinggi.
Patofisiologi

Virus varicella zoster didapat saat seseorang terkena cacar air dimana virus ini tinggal dalam sistem saraf dan dapat aktif kembali bila pasien mengalami stres berlebih atau penurunan daya tahan tubuh misalnya badan tidak fit. Ini disebut reaktivasi virus.

Biasanya virus varicella zoster pada herpes zoster menyerang bagian kulit, mukosa dan saraf di sebagian tubuh dan hanya satu sisi tubuh (unilateral), kanan atau kiri, sesuai penjalaran dari ujung-ujung saraf. Ruam berkumpul sesuai dermatom saraf.

Herpes zoster dapat menular namun daya penularannya lebih lemah dibandingkan varicella simplex (cacar air). Penularan virus varicella zoster berupa varicella simplex (cacar air) yang dapat berubah menjadi herpes zoster melalui proses reaktivasi virus.

Penularan herpes zoster dapat melalui kontak langsung dengan lesi kulit dan menyebar melalui udara dibarengi dengan daya tahan tubuh menurun. Pada penyakit infeksi virus biasanya orang menjadi kurang fit dan tidak ada nafsu makan sehingga daya tahan tubuh makin rendah sehingga mudah terkena infeksi bakteri.

Komplikasi
Neuralgia Pasca Herpes zoster (NPH) merupakan nyeri yang tajam dan spasmodic (singkat dan tidak terus – menerus) sepanjang nervus yang terlibat. Nyeri menetap di dermatom yang terkena setelah erupsi. Herpes zoster menghilang, batasan waktunya adalah nyeri yang masih timbul satu bulan setelah timbulnya erupsi kulit. Kebanyakan nyeri akan berkurang dan menghilang spontan setelah 1–6 bulan
Gangren superfisialis, menunjukan Herpes zoster yang berat, mengakibatkan hambatan penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.
Komplikasi mata, antara lain : keratitis akut, skleritis,  uveitis,  glaucoma sekunder, ptosis, korioretinitis, neuritis optika dan paresis otot penggerak bola mata.
Herpes zoster diseminata / generalisata
Komplikasi sitemik, antara lain : endokarditis, menigosefalitis, paralysis saraf motorik, progressive multi focal leukoenche phatopathy dan angitis serebral granulomatosa disertai hemiplegi (2 terkahir ini merupakan komplikasi herpes zoster optalmik).
Manifetasi Klinik
Gejala awal herpes zoster yaitu sakit kepala, demam, dan rasa tidak nyaman, ini merupakan gejala-gejala yang nonspecific, dan dapat mengakibatkan salah diagnosa. Gejala ini biasanya diikuti oleh sensation rasa sakit membakar, gatal, hyperesthesia (oversensitivity), atau paresthesia ( “gelisah”: rasa geli, ditusuk-tusuk, dan mati rasa). Rasa sakit mungkin ekstrim terasa pada dermatome (lapisan kulit), dengan sensasi-sensasi yang sering digambarkan bebentuk pedas/panas, geli, nyeri, kaku dan berdenyut-denyut, dan dapat menyebar cepat dengan rasa ditusuk-tusuk. Dalam banyak kasus, setelah 1-2 hari (tapi kadang-kadang selama 3 minggu) tahap awal ini diikuti dengan tampilan karakteristik: ruam kulit. Rasa sakit dan ruam yang paling sering terjadi pada seluruh tubuh, tetapi dapat muncul di wajah, mata atau bagian lain dari tubuh. Pada awalnya, ruam yang muncul mirip dengan tampilan penyakit hives (Urticaria), namun tidak seperti hives, herpes zoster menyebabkan kulit terbatas pada perubahan di kulit, biasanya bentuknya strip/jalur atau seperti pola pada sabuk/belt yang terbatas pada satu sisi tubuh dan tidak menyeberangi midline(?). Zoster sine herpete menjelaskan semua pasien yang memiliki gejala-gejala dari herpes zoster ini kecuali karakteristik ruam.
Kemudian, ruam menjadi vesicular (seperti tekstur batu vulkanik), terbentuknya ruam-ruam kecil berisi cairan, demam dan rasa tidak nyaman pada tubuh. Vesicle (gelembung) akhirnya menjadi berwarna abu-abu dan gelap karena diiisi dengan darah. Pengelupasan terjadi anatar tujuh sampai sepuluh hari kemudian, dan biasanya jatuh dan menyembuhkan kulit tetapi kadang-kadang setelah ruam yang parah dapat menimbulkan bekas parutan dan perubahan warna kulit.
Herpes mungkin memiliki gejala tambahan , tergantung pada lapisan kulit yang terlibat. Herpes zoster ophthalmicus muncul pada mata dan terjadi di sekitar 10-25% kasus. Hal ini disebabkan karena virus menjadi aktif pada daerah ophthalmic dari saraf trigeminal. Pada beberapa pasien, muncul pula gejala radang lainnya pada mata seperti : conjunctivitis, keratitis, uveitis, dan saraf optik palsies yang kadang-kadang dapat menyebabkan radang mata kronis, dan kehilangan penglihatan. Herpes zoster oticus, juga dikenal sebagai Ramsay Hunt syndrome tipe II, melibatkan telinga. Ia adalah hasil penyebaran virus dari syaraf wajah ke saraf vestibulocochlear. Gejala termasuk kehilangan pendengaran dan vertigo.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostic pada Herpes zoster
Tes diagnostik untuk membedakan dari impetigo, kontak dermatitis dan herps simplex :
Tzanck Smear : mengidentifikasi virus herpes tetapi tidak dapat membedakan herpes zoster dan herpes simplex.
Kultur dari cairan vesikel dan tes antibody : digunakan untuk membedakan diagnosis herpes virus
Immunofluororescent : mengidentifikasi varicella di sel kulit
Pemeriksaan histopatologik
Pemerikasaan mikroskop electron
Kultur virus
Identifikasi anti gen / asam nukleat VVZ
Deteksi antibody terhadap infeksi virus
Penatalaksanaan
1. Pengobatan topical
Pada stadium vesicular diberi bedak salicyl 2% atau bedak kocok kalamin untuk mencegah vesikel pecah
Bila vesikel pecah dan basah, diberikan kompres terbuka dengan larutan antiseptik atau kompres dingin dengan larutan burrow 3 x sehari selama 20 menit
Apabila lesi berkrusta dan agak basah dapat diberikan salep antibiotik (basitrasin / polysporin ) untuk mencegah infeksi sekunder selama 3 x sehari
       2. Pengobatan sistemik
          Drug of choice- nya adalah acyclovir yang dapat mengintervensi sintesis virus dan     replikasinya. Meski tidak menyembuhkan infeksi herpes namun dapat menurunkan keparahan penyakit dan nyeri. Dapat diberikan secara oral, topical atau parenteral. Pemberian lebih efektif pada hari pertama dan kedua pasca kemunculan vesikel. Namun hanya memiliki efek yang kecil terhadap postherpetic neuralgia.
Antiviral lain yang dianjurkan adalah vidarabine (Ara – A, Vira – A) dapat diberikan lewat infus intravena atau salep mata.
a.Kortikosteroid dapat digunakan untuk menurunkan respon inflamasi dan efektif namun penggunaannya masih kontroversi karena dapat menurunkan penyembuhan dan menekan respon immune.
Analgesik non narkotik dan narkotik diresepkan untuk manajemen nyeri dan antihistamin diberikan untuk menyembuhkan priritus.
b. Penderita dengan keluhan mata
Keterlibatan seluruh mata atau ujung hidung yang menunjukan hubungan dengan cabang nasosiliaris nervus optalmikus, harus ditangani dengan konsultasi opthamologis. Dapat diobati dengan salaep mata steroid topical dan mydriatik, anti virus dapat diberikan







c. Neuralgia Pasca Herpes zoster
Bila nyeri masih terasa meskipun sudah diberikan acyclovir pada fase akut, maka dapat diberikan anti depresan trisiklik ( misalnya : amitriptilin 10 – 75 mg/hari)
Tindak lanjut ketat bagi penanganan nyeri dan dukungan emosional merupakan bagian terpenting perawatan
Intervensi bedah atau rujukan ke klinik nyeri diperlukan pada neuralgi berat yang tidak teratasi.

ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Data Subyektif
Demam, pusing, malaise, nyeri otot-tulang, gatal dan pegal, hipenestesi.
Data Obyektif
Eritema, vesikel yang berkelompok dengan dasar kulit yang eritema dan edema. Vesikel berisi cairan jernih kemudian menjadi keruh (berwarna abu-abu) dapat menjadi pustule dan krusta. Kadang vesikel mengandung darah, dapat pula timbul infeksi sekunder sehingga menimbulkan aleus dengan penyembuhan berupa sikatrik.
Dapat pula dijumpai pembesaran kelenjar lympe regional. Lokalisasi penyakit ini adalah unilateral dan bersifat dermafonal sesuai dengan tempat persyarafan.
Paralitas otot muka
Data Dasar :
Aktivitas / Istirahat
Tanda : penurunan kekuatan tahanan
Integritas ego
Gejala : masalah tentang keluarga, pekerjaan, kekuatan, kecacatan.
Tanda : ansietas, menangis, menyangkal, menarik diri, marah.
Makan/cairan
Tanda : anorexia, mual/muntah
Neuro sensori
Gejala : kesemutan area bebas
Tanda : perubahan orientasi, afek, perilaku kejang (syok listrik), laserasi corneal, kerusakan retinal, penurunan ketajaman penglihatan.
Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Sensitif untuk disentuh, ditekan, gerakan udara, peruban suhu.
Keamanan
Tanda : umum destruksi jaringan dalam mungkin terbukti selama 3-5 hari sehubungan dengan proses trambus mikrovaskuler pada kulit.
Diagnosa Keperawatan
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan lesi zoster.
Perubahan ketidaknyamanan berhubungan dengan erupsi kulit.
Suhu tubuh meningkat berhubungan dengan infeksi.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan nyeri.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenai sumber informasi.


Intervensi
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan lesi zoster.
Tujuan : integritas kulit teratasi
Kriteria hasil : mewujudkan regenaris jaringan
Intervensi :
Antisipasi dan gunakan tindakan pencegahan resiko keruysakan kulit.
Kaji nutrisi
Kaji permukaan kulit dan daerah-daerah yang menonjol secara rutin.
Bantu penggunaan topikal.
Perubahan ketidaknyamanan berhubungan dengan erupsi kulit.
Tujuan : rasa nyaman terpenuhi
Kriteria hasil : mengungkapkan peningkatan rasa nyaman.
Intervensi :
Berikan tempat tidur yang nyaman
Instruksikan tindakan relaksasi
Kurangi kebisingan
Bantu dalam mengubah posisi.
Suhu tubuh meningkat berhubungan dengan infeksi.
Tujuan : suhu  tubuh stabil
Kriteria hasil :
Mendemonstrasikan suhu tubuh dalam batas normal
Tidak mengalami komplikasi
Intervensi :   
Pantau suhu tubuh pasien
Berikan kompres hangat
Berikan anti piretik
Berikan anti biotik
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan nyeri
Tujuan : toleransi aktivitas terpenuhi
Kriteria hasil :
Pasien berpartisipasi dalam aktivitas
Mempertahankan kekuatan dan fungsi bagian-bagian tubuh.
Intervensi :
Kaji segala nyeri
Catat respon pasien untuk mengubah kemampuan
Rencanakan aktivitas dengan periode istirahat adekuat sesuai kebutuhan.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenai sumber informasi.
Tujuan : pasien tahu tentang penyakitnya
Kriteria hasil :
Menyatakan pemahaman kondisi dan pengobatannya
Melakukan perubahan pola hidup
Intervensi :
Memberikan penjelasan kepada pasien
Diskusi perawatan kulit
Identifikasi sumber komunikasi
Kaji sumber yang tepat untuk perawatan pasien rawat jalan
   
DAFTAR PUSTAKA

Brunner Suddarth.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. Penerbit   EGC,Jakarta.
Harahap, Marwali.2000. Ilmu Penyakit Kulit.Penerbit Hipokrates, Jakarta.
Graham Brown , Robin dan Tony Burn. 2005. Lecture Notes Dermatologi. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Price, sylvia A dan willson, loraine M. (2006).patoisiologi konsep klinis proses proses penyakit . Jakarta :EGC Brunner dan suddarth. (2006).














BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
                Herpes zoster adalah penyakit setempat yang terjadi terutama pada orang tua yang khas ditandai oleh adanya nyeri radikuler yang unilateral serta adanya erupsivesikuler yang terbatas pada dermatom yang diinervasi oleh serabut saraf spinal maupunganglion serabut saraf sensoris dari nervus cranialis. Herpes zoster rupanya menggambarkan reaktivasi dari refleksi endogen yangtelah menetap dalam bentuk laten mengikuti infeksi varisela yang telah ada sebelumnya.
           Herpes zoster  disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV). Biasanya virus varicella zoster pada herpes zoster menyerang bagian kulit, mukosa dan saraf di sebagian tubuh dan hanya satu sisi tubuh (unilateral), kanan atau kiri, sesuai penjalaran dari ujung-ujung saraf. Ruam berkumpul sesuai dermatom saraf.
           Gejala awal herpes zoster yaitu sakit kepala, demam, dan rasa tidak nyaman, ini merupakan gejala-gejala yang nonspecific, dan dapat mengakibatkan salah diagnosa. Gejala ini biasanya diikuti oleh sensation rasa sakit membakar, gatal, hyperesthesia (oversensitivity), atau paresthesia ( “gelisah”: rasa geli, ditusuk-tusuk, dan mati rasa).





      
      
      
   
DAFTAR ISI

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN AFASIA

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN AFASIA




DISUSUN OLEH :
Nama : DONISIUS
Nim : 11010

AKADEMI KEPERAWATAN
YAYASAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA 2012



DAFAR ISI

Kata Pengantar
Bab I    : Pendahuluan
Latar Belakang
Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
Metode Penulisan
Sistematika Penulisan

Bab II : Tinjauan Teori
Pengertian
Anatomi Fisiologi
Etiologi
Patofisiologi
Proses Perjalanan Penyakit
Manifetasi Klinik
Komplikasi
Penatalaksanaan Medis
Pengkajian Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Perencanaan
Pelaksanaan
Evaluasi

Bab III : Kesimpulan
Daftar  Pustaka

KATA  PENGANTAR

Dengan  mengucapkan  rasa  syukur  kehadirat  Tuhan  Yang  Maha  Esa  karena  atas  segala  karuniaanya  penulis  dapat  menyelesaikan  makalah  ini  yang  bejudul  “ Asuhan keperawatan pada klien dengan Afasia “.
Adapun  makalah  ini  dibuat  untuk  memenuhi  tugas  mata  ajar  Keperawatan Medikal Bedah  pada  penyusunan  makalah  ini  penulis  menemukan  sedikit  hambatan,  namun  demikian  hambatan  itu  dapat  diatasi  berkat  bantuan  dari  teman-teman  dan juga  bimbingan  dosen  pengajar  oleh karena  itu   pada  kesempatan  ini  penulis  mengucapkan  terimakasih  yang  begitu  besar  kepada  yang  terhormat:
Ibu Riama Marlyn S.Kp, MKep. selaku  dosen pengajar  mata  kuliah Keperawatan Medikal Bedah.
Ibu Riama Marlyn S.Kp, MKep. Selaku  direktur   Akademi  Keperawatan  Universitas  Kristen  Indonesia.
Orang  tua  yang  telah  memberikan  dorongan  baik  moral  maupun  materi.
Teman-teman   mahasiswa/mahasiswi   tingkat  I  Akademi  Keperawatan  Universitas  Kristen  Indonesia  yang  telah  memberikan  dukungan  dalam  pembuatan  makalah  ini. 
Penulis  menyadari  bahwa  makalah  ini  masih  banyak  kekurangan,  untuk  itu  penulis  mengharapkan  kritik  dan saran  yang  sifatnya  membangun  guna  kesempurnaan  makalah ini.  Semoga makalah ini  berguna  bagi  para  pembaca  khususnya  mahasiswa/mahasiswi  Akademi  Keperawatan  Universitas  Kristen  Indonesia.


Jakarta, November 2011






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam berbahasa tercakup berbagai kemampuan yaitu, bicara spontan, komprehensi, menamai, repetisi ( mengulang), membaca dan menulis.
Bahasa merupakan instrument dasar bagi komunikasi pada manusia dan merupakan dasar dan tulang punggung bagi kemampuan kognitif. Bila terdapat defisit pada sistem berbahasa, penilaian faktor kognitif seperti memori verbal. Interpretasi pepatah dan berhitung lisan menjadi sulit dan mungkin tidak dapat dilakukan. Kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa sangat penting. Bila terdapat gangguan hal ini akan mengakibatkan hambatan yang berarti bagi pasien.
Gangguan berbahasa tidak mudah di deteksi dengan pemeriksaan yang tergesa-gesa. Pemeriksaan perlu meningkatkan pengetahuan menganai pola gangguan berbahasa.

B.     Rumusan masalah
-          Apa definisi dari Afasia ?
-          Sebutkan etiologi dari Afasia!
-          Bagaimana  masnifestasi klinis dari Afasia ?
-          Bagaimana penatalaksanaan untuk Afasia ?
-          Sebutkan pemeriksaan penunjang untuk Afasia!
-          Bagaimana WOC  untuk Afasia !
-          Bagaimana asuhan keperawatan untuk Afasia ?

C.    Tujuan
4  Mahasiswa dapat mengetahui definisi dari Afasia
4  Mahasiswa dapat mengetahui Etiologi dari Afasia
4  Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis dari Afasia
4  Mahasiswa dapat mengetahui Pemeriksaan penunjang untuk Afasia
4  Mahasiswa dapat mengetahui WOC untuk Afasia
4  Mahasiswa dapat mengetahui Asuhan Keperawatan untuk AfasiaR

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi
Afasia merupakan gangguan berbahasa. Dalam hal ini pasien menunjukkan gangguan dalam memproduksi dan / atau memahami bahasa. Defek dasar pada afasia ialah pada pemrosesan bahasa tingkat integratif yang lebih tinggi. Gangguan’ artikulasi dan praksis mungkin ada sebagai gejala yang  menyertai.
Afasia adalah gangguan berbahasa akibat gangguan serebrovaskuler hemisfer dominan, trauma kepala, atau proses penyakit. Terdapat beberapa tipe afasia, biasanya digolongkan sesuai lokasi lesi. Semua penderita afasia memperlihatkan keterbatasan dalam pemahaman, membaca, ekspresi verbal, dan menulis dalam derajat berbeda-beda.

B.     Etiologi
Afasia biasanya berarti hilangnya kemampuan berbahasa setelah kerusakan otak. Kata afasia perkembangan (sering disebut sebagai disfasia) digunakan bila anak mempunyai keterlambatan spesifik dalam memperoleh kemampuan berbahasa. Dalam hal ini, perkembangan kemampuan berbahasa yang tidak sebanding dengan perkembangan kognitif umumnya.
Strok, tumor di otak, cedera otak, demensi dan penyakit lainnya dapat mengakibatkan gangguan berbahasa.
 
Tabel Algoritma Klasifikasi Afasia Kortika

Kelancaran    Pemahaman        Mengulang    Jenis Afasia
            (Komprehensi)    (Repetisi)   

      
       






















C.    Manifestasi Klinis
Gejala dan Gambaran klinik Afasia
Afasia global. Afasia global ialah bentuk afasia yang paling berat. Koadaan ini ditandai oleh tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan menjadi beberapa patah kata yang diucapkan secara stereotip (itu-itu saja, berulang), misalnya : "iiya, iiya, iiya", atau: "baaah, baaaah, baaaaah" atau: "amaaang, amaaang, amaaang". Komprehensi menghilang atau sangat terbatas, misalnya hanya mengenal namanya saja atau satu atau dua patah kata. Repetisi (mengulangi) juga sama berat gangguannya seperti bicara spontan. Membaca dan menulis juga terganggu berat.
Afasia global disebabkan oleh lesi luas yang merusak sebagian besar atau semua daerah bahasa. Penyebab lesi yang paling sering ialah oklusi arteri karotis interna atau arteri serebri media pada pangkalnya. Kemungkinan   pulih   ialah    buruk.   Afasia   global   hampir   selalu   disertai hemiparese atau hemiplegia yang menyebabkan invaliditas khronis yang parah.
Afasia Broca. Bentuk afasia ini sering kita lihat di klinik dan ditandai oleh bicara yang tidak lancar, dan disartria, serta tampak melakukan upaya bila berbicara. Pasien sering atau paling banyak mengucapkan kata-benda dan kata-kerja. Bicaranya bergaya telegram atau tanpa tata-bahasa (tanpa grammar). Contoh: "Saya....sembuh....rumah....kontrol....ya..kon..trol." "Periksa...lagi...makan... banyak.."
Mengulang (repetisi) dan membaca kuat-kuat sama terganggunya seperti berbicara spontan. Pemahaman auditif dan pemahaman membaca tampaknya tidak terganggu, namun pemahaman kalimat dengan tatabahasa yang kompleks sering terganggu (misalnya memahami kalimat: "Seandainya anda berupaya untuk tidak gagal, bagaimana rencana anda untuk maksud ini").
Ciri klinik afasia Broca:
bicara tidak lancar
tampak sulit memulai bicara
kalimatnya pendek (5 kata atau kurang per kalimat)
pengulangan (repetisi) buruk
kemampuan menamai buruk
Kesalahan parafasia
Pemahaman lumayan (namun mengalami kesulitan memahami kalimat
yang sintaktis kompleks)
Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks
Irama kalimat dan irama bicara terganggu
Menamai (naming) dapat menunjukkan jawaban yang parafasik. Lesi yang menyebabkan afasia Broca mencakup daerah Brodmann 44 dan sekitarnya. Lesi yang mengakibatkan afasia Broca biasanya melibatkan operkulum frontal (area Brodmann 45 dan 44) dan massa alba frontal dalam (tidak melibatkan korteks motorik bawah dan massa alba paraventrikular tengah). Selain itu, ada pasien dengan lesi dikorteks peri-rolandik, terutama daerah Brodmann 4; ada pula yang terganggu di daerah peri-rolandik dengan kerusakan massa alba yang ekstensif.
Ada pakar yang menyatakan bahwa bila kerusakan terjadi hanya di area Broca di korteks, tanpa melibatkan jaringan di sekitarnya, maka tidak akan terjadi afasia.
Penderita afasia Broca sering mengalami perubahan emosional. seperti  frustasi  dan  depresi.  Apakah  hal   ini  disebabkan  oleh  gangguan berbahasanya atau merupakan gejala yang menyertai lesi di lobus frontal kiri belum dapat dipastikan.
Pemulihan terhadap berbahasa (prognosis) umumnya lebih baik daripada afasia global. Karena pemahaman relatif baik, pasien dapat lebih baik beradaptasi dengan keadaannya.
Afasia Wernicke. Pada kelainan ini pemahaman bahasa terganggu. Di klinik, pasien afasia Wernicke ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa lisan, dan bila ia menjawab iapun tidak mampu mengetahui apakah jawabannya salah. la tidak mampu memahami kata yahg diucapkannya, dan tidak mampu mengetahui kata yang diucapkannya, apakah benar atau salah. Maka terjadilah kalimat yang isinya kosong, berisi parafasia, dan neologisme. Misalnya menjawab pertanyaan: Bagaimana keadaan ibu sekarang ? Pasien mungkin menjawab: "Anal saya lalu sana sakit tanding tak berabir".
Pengulangan (repetisi) terganggu berat. Menamai {naming) umumnya parafasik. Membaca dan menulis juga terganggu berat.

Gambaran klinik afasia Wernicke:
Keluaran afasik yang lancar
Panjang kalimat normal
Artikulasi baik
Prosodi baik
Anomia (tidak dapat menamai)
Parafasia fonemik dan semantik
Komprehensi auditif dan membaca buruk
Repetisi terganggu
Menulis lancar tapi isinya "kosong"
Penderita afasia jenis Wernicke ada yang menderita hemiparese, ada pula yang tidak. Penderita yang tanpa hemiparese, karena kelainannya hanya atau terutama pada berbahasa, yaitu bicara yang kacau disertai banyak parafasia, dan neologisme, bisa-bisa disangka menderita psikosis.
Lesi yang menyebabkan afasia jenis Wernicke terletak di daerah bahasa bagian posterior. Semakin berat defek dalam komprehensi auditif, semakin besar kemungkinan lesi mencakup bagian posterior dari girus temporal superior. Bila pemahaman kata tunggal terpelihara, namun kata kompleks terganggu, lesi cenderung mengenai daerah lobus parietal, ketimbang lobus temporal superior. Afasia jenis Wernicke dapat juga dijumpai pada lesi subkortikal yang merusak isthmus temporal memblokir signal aferen inferior ke korteks temporal.
Penderita dengan defisit komprehensi yang berat, pronosis penyembuhannya buruk, walaupun diberikan terapi bicara yang intensif. Afasia konduksi. Ini merupakan gangguan berbahasa yang lancar (fluent) yang ditandai oleh gangguan yang berat pada repetisi, kesulitan dalam membaca kuat-kuat (namun pemahaman dalam membaca baik), gangguan dalam menulis, parafasia yang jelas, namun umumnya pemahaman bahasa lisan terpelihara. Anomianya berat.
Terputusnya hubungan antara area Wernicke dan Broca diduga menyebabkan manifestasi klinik kelainan ini. Terlibatnya girus supramarginal diimplikasikan pada beberapa pasien. Sering lesi ada di massa alba subkortikal - dalam di korteks parietal inferior, dan mengenai fasikulus arkuatus yang menghubungkan korteks temporal dan frontal.
Afasia transkortikal. Afasia transkortikal ditandai oleh repetisi bahasa lisan yang baik (terpelihara), namun fungsi bahasa lainnya terganggu. Ada pasien yang mengalami kesulitan dalam memproduksi bahasa, namun komprehensinya lumayan.
Ada pula pasien yang produksi bahasanya lancar, namun komprehensinya buruk. Pasien dengan afasia motorik transkortikal mampu mengulang (repetisi), memahami dan membaca, namun dalam bicara -spontan terbatas, seperti pasien dengan afasia Broca. Sebaliknya, pasien dengan afasia sensorik transkortikal dapat mengulang (repetisi) dengan baik, namun tidak memahami apa yang didengarnya atau yang diulanginya. Bicara spontannya dan menamai lancar, tetapi parafasik seperti afasia jenis Wernicke. Sesekali ada pasien yang menderita kombinasi dari afasia transkortikal motorik dan sensorik. Pasien ini mampu mengulangi kalimat yang panjang, juga dalam bahasa asing, dengan tepat. Mudah mencetuskan repetisi pada pasien ini, dan mereka cenderung menjadi ekholalia (mengulang apa yang didengarnya).
Gambaran klinik afasia sensorik transkortikal:
Keluaran (output) lancar (fluent)
Pemahaman buruk
Repetisi baik
Ekholalia
Komprehensi auditif dan membaca terganggu
Defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai
Didapatkan defisit lapangan pandang di sebelah kanan.
Gambaran klinik afasia motorik transkortikal:
Keluaran tidak lancar (non fluent)
Pemahaman (komprehensi) baik
Repetisi baik
Inisiasi ot/fpunerlambat
Ungkapan-ungkapan singkat
Parafasia semantik
Ekholalia
Gambaran klinik afasia transkortikal campuran:
Tidak lancar (nonfluent)
Komprehensi buruk
Repetisi baik
Ekholalia mencolok

Afasia transkortikal disebabkan oleh lesi yang luas, berupa infark berbentuk bulan sabit, di dalam zona perbatasan antara pembuluh darah serebral mayor (misalnya di lobus frontal antara daerah arteri serebri anterior dan media). Afasia transkortikal motorik terlihat pada lesi di perbatasan anterior yang menyerupai huruf C terbalik (gambar 9-1). Lesi ini tidak mengenai atau tidak melibatkan korteks temporal superior dan frontal inferior (area 22 dan 44 dan lingkungan sekitar) dan korteks peri sylvian parietal. Korteks peri sylvian yang utuh ini dibutuhkan untuk kemampuan mengulang yang baik.

Penyebab yang paling sering dari afasia transkortikal ialah:
Anoksia sekunder terhadap sirkulasi darah yang menurun, seperti yang
dijumpai pada henti-jantung (cardiac arrest).
Oklusi atau stenosis berat arteri karotis.
Anoksia oleh keracunan karbon monoksida.
Demensia.
Afasia anomik. Ada pasien afasia yang defek berbahasanya berupa kesulitan dalam menemukan kata dan tidak mampu menamai benda yang dihadapkan kepadanya. Keadaan ini disebut sebagai afasia anomik, nominal atau amnestik. Berbicara spontan biasanya lancar dan kaya dengan gramatika, namun sering tertegun mencari kata dan terdapat parafasia mengenai nama objek.

Gambaran klinik alasia anomik:
Keluaran lancar
Komprehensi baik
Repetisi baik
Gangguan (defisit) dalam menemukan kata.
Banyak tempat lesi di hemisfer dominan yang dapat menyebabkan afasia anomik, dengan demikian nilai lokalisasi jenis afasia ini terbatas. Anomia dapat demikian ringannya sehingga hampir tidak terdeteksi pada percakapan biasa atau dapat pula demikian beratnya sehingga keluaran spontan tidak lancar dan isinya kosong. Prognosis untuk penyembuhan bergantung kepada beratnya defek inisial. Karena output bahasa relatif terpelihara dan komprehensi lumayan utuh, pasien demikian dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik daripada jenis afasia lain yang lebih berat.
Afasia dapat juga terjadi oleh lesi subkortikal, bukan oleh lesi kortikal saja. Lesi di talamus, putamen-kaudatus, atau di kapsula interna, misalnya oleh perdarahan atau infark, dapat menyebabkan afasia anomik. Mekanisme terjadinya afasia dalam hal ini belum jelas, mungkin antara lain oleh berubahnya input ke serta fungsi korteks di sekitarnya.

  Beberapa bentuk afasia mayor

Bentuk Afasia    Ekspresi    Komprehensi verbal    Repetisi    Menamai    Komprehensi membaca    Menulis    Lesi      
Ekspresi (Broca)    Tak lancar    Relatif terpelihara    Terganggu    Terganggu    Bervariasi    Terganggu    Frontal Inferior posterior      
Reseptif
(Wermicke)    Lancar    Terganggu    Terganggu    Terganggu    Terganggu    Terganggu    Temporal Superior Posterior (Area Wernicke)      
Global    Tak lancar    Terganggu    Terganggu    Terganggu    Terganggu    Terganggu    Fronto temporal      
Konduksi    Lancar    Relatif terpelihara    Terganggu    Terganggu    Bervariasi    Terganggu    Fasikulus arkualtus, girus supramarginal      
Nominal    Lancar     Relatif terpelihara    Terpelihara    Terganggu    Bervariasi    Bervariasi    Girus angular, temporal superior posterior      
Transkortikal motor    Tak lancar    Relatif terpelihara    Terpelihara    Terganggu    Bervariasi    Terganggu     Peri sylvian anterior      
Transkortikal sensorik    Lancar    Terganggu    Terpelihara    Terganggu    Terganggu    Terganggu     PerisylvianPosterior   

D.    Penatalaksanaan Medis
DASAR-DASAR REHABIL1TASI
Bina wicara (speech therapy) pada afasia didasarkan pada :
Dimulai seawal mungkin. Segera diberikan bila keadaan umum pasien sudah memungkinkan pada fase akut penyakitnya.
Dikatakan bahwa bina wicara yang diberikan pada bulan
pertama sejak mula sakit mempunyai hasil yang paling baik.
Hindarkan penggunaan komunikasi non-linguistik (seperti isyarat).
Program terapi yang dibuat oieh terapis sangat individual dan tergantung dari latar belakang pendidikan, status sosial dan kebiasaan pasien.
Program terapi berlandaskan pada penurnbuhan motivasi pasien untuk mau belajar (re-learning) bahasanya yang hilang. Memberikan stimulasi supaya pasien metnberikan tanggapan verbal. Stimuli dapat berupa verbal, tulisan atau pun taktil. Materi yang teiah dikuasai pasien perlu diulang-ulang(repetisi).
Terapi dapat diberikan secara pribadi dan diseling dengan terapi kelompok dengan pasien afasi yang lain.
Penyertaan keluarga dalam terapi sangat mutlak.

E.     Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kelancaran berbicara. Seseorang disebut berbicara , lancar bila bicara spontannya lancar, tanpa tertegun-tegun untuk mencari Kata yang diinginkan. Kelancaran berbicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata. Bila kemampuan ini diperiksa secara khusus ilnpat dideteksi masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang ringan iiImii pada demensia dini. Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes knlnncaran, menemukan kata yaitu jumlah kata tertentu yang dapat dlproduksi selama jangka waktu yang terbatas. Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis hewan selama jangka waktu satu menit, ulnu menyebutkan kata-kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya huruf S atau huruf B dalam satu menit.
Menyebutkan nama hewan : Pasien disuruh menyebutkan sebanyak mungkin nama hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta kesalahan yang ada, misalnya parafasia. Skor : Orang normal umumnya mampu menyebutkan 18 - 20 nama hewan selama 60 detik, dengan variasi I    5 - 7.
Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam tugas ini. Orang normal yang berusia di bawah 69 tahun akan mampu menyebutkan 20 nama hewan dengan simpang baku 4,5.
Kemampuan ini menurun menjadi 17 (+ 2,8) pada usia 70-an, dan menjadi 15,5 (± 4,8) pada usia 80-an. Bila skor kurang dari 13 pada orang normal di bawah usia 70 tahun, perlu dicurigai adanya gangguan dalam kelancaran berbicara verbal. Skor yang dibawah 10 pada usia dibawah 80 tahun, sugestif bagi masalah penemuan kata. Pada usia 85 tahun skor 10 mungkin merupakan batas normal bawah.
Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: Kepada pasien dapat juga diberikan tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya huruf S, A atau P. Tidak termasuk nama orang atau nama kota. Skor: Orang normal umumnya dapat menyebutkan sebanyak 36 - 60 kata, tergantung pada usia, inteligensi dan tingkat pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk tiap huruf di atas merupakan petunjuk adanya penurunan kelancaran berbicara verbal. Namun kita harus hati-hati  monginterpretasi tes ini  pada  pasien dengan  tingkat   pendidikan  tidak melebihi tingkat Sekolah Menengah Pertama.

Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan
Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit dlnllal Pemeriksaan klinis disisi-ranjang dan tes yang baku cenderung kurang cukup dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah terakhir dapat digunakan untuk mengevaluasi pemahaman (komprehensi) secara klinis, yaitu dengan cara konversasi, suruhan, pilihan (ya atau tidak), dan menunjuk.
Konversasi. Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai kemampuannya memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan oleh pemeriksa.
Suruhan. Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (Satu langkah) sampai pada yang sulit (banyak langkah) dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien memahami. Mula-mula suruh pasien bertepuk tangan, kemudian tingkatkan kesulitannya, misalnya: mengambil pinsil, letakkan di kotak dan taruh kotak di atas kursi (suruhan ini dapat gagal pada pasien dengan apraksia dan gangguan motorik, walaupun pemahamannya baik;   hal  ini  harus diperhatikan oleh pemeriksa).
Pemeriksa dapat pula mengeluarkan beberapa benda, misalnya kunci, duit, arloji, vulpen, geretan. Suruh pasien menunjukkan salah sntu benda tersebut, misalnya arloji. Kemudian suruhan dapat dlpermilit, misalnya: tunjukkan jendela, setelah itu arloji, kemudian vulpen. Pasion tanpa afasia dengan tingkat inteligensi yang rata-rata mampu menunjukkan 4 atau lebih objek pada suruhan yang beruntun. Pasien dengan Afasia mungkin hanya mampu menunjuk sampai 1 atau 2 objek saja. Jadi, pada pemeriksaan ini pemeriksa (dokter) menambah jumlah objek yang hams ditunjuk, sampai jumlah berapa  pasien selalu gagal.
Ya atau tidak.   Kepada pasien dapat juga diberikan tugas berbentuk pertanyaan yang dijawab dengan "ya" atau "tidak". Mengingat kemungkinan salah    ialah    50%,   jumlah    pertanyaan    harus    banyak,    paling   sedikit 6 pertanyaan, misalnya   :
"Andakah yang bernama Santoso?"
"Apakah AC dalam ruangan ini mati ?"
"Apakah ruangan ini kamar di hotel ?"
"Apakah diluar sedang hujan?"
"Apakah saat ini malam hari?"
Menunjuk. Kita mulai dengan suruhan yang mudah difahami dan kemudian meningkat pada yang lebih sulit. Misalnya: "tunjukkan lampu", kemudian "tunjukkan gelas yang ada disamping televisi".
Pemeriksaan sederhana ini, yang dapat dilakukan di sisi-ranjang, kurang mampu menilai kemampuan pemahaman dengan baik sekali, namun dapat memberikan gambaran kasar mengenai gangguan serta beratnya. Korelasi anatomis dengan komprehensi adalah kompleks.

Pemeriksaan repetisi (mengulang)
Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang, mula-mula kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian ditingkatkan menjadi banyak (satu kalimat). Jadi, kita ucapkan kata atau angka, dan kemudian pasien disuruh mengulanginya.
Cara pemeriksaan
Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa. Mula-mula sederhana kemudian lebih sulit.  Contoh:
Map
Bola
Kereta
Rumah Sakit
Sungai Barito
Lapangan Latihan
Kereta api malam
Besok aku pergi dinas
Rumah ini selalu rapi
Sukur anak itu naik kelas
Seandainya si Amat tidak kena influensa
Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan parafasia, salah tatabahasa, kelupaan dan penambahan.
Orang normal umumnya mampu mengulang kalimat yang mengandung 19 suku-kata.
Banyak pasien afasia yang mengalami kesulitan dalam mengulang (repetisi), namun ada juga yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam hal mengulang, dan sering lebih baik daripada berbicara spontan.
Umumnya dapat dikatakan bahwa pasien afasia dengan gangguan kemampuan  mengulang  mempunyai  kelainan  patologis  yang   melibatkan daerah peri-sylvian. Bila kemampuan mengulang terpelihara, maka daerah -sylvian bebas dari kelainan patologis.
Umumnya  daerah   ekstra-sylvian   yang  terlibat  dalam   kasus   afasia tanpa  defek  repetisi terletak di  daerah  perbatasan  vaskuler (area  water-shed).


Pemeriksaan menamai dan menemukan kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi herbahasa. Hal ini sedikit-banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian, semua tes yang digunakan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap kemampuan ini. Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama (menamai) dan hal ini disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek, bagian dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik, simbol matematik atau nama suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan aitem yang sering digunakan (misalnya sisir, arloji) dan yang jarang ditemui atau digunakan (misalnya pedang). Banyak penderita afasia yang masih mampu menamai objek yang sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan tertegun, dengan sirkumlokusi (misalnya, melukiskan kegunaannya) atau parafasia pada objek yang jarang dijumpainya.
Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, ia dapat dibantu dengan memberikan    suku    kata    pemula    atau    dengan    menggunakan    kalimat
penuntun. Misalnya: pisau. Kita dapat membantu dengan suku kata pi    
Atau dengan kalimat: "kita memotong daging dengan     ". Yang penting kita nilai ialah sampainya pasien pada kata yang dibutuhkan, kemampuannya (memberi nama objek). Ada pula pasien yang mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya (sirkumlokusi) namun tidak dapat menamainya. Misalnya bila ditunjukkan kunci ia mengatakan : "Anu ... itu...untuk masuk rumah...kita putar".
Cara pemeriksaan. Terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan  nama  beberapa  objek juga  warna  dan   bagian  dari   objek tersebut. Kita dapat menilai dengan memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata,  kemudian  bagian  dari  arloji  (jarum  menit,  detik),  lensa  kaca mata. Objek atau gambar objek berikut dapat digunakan:   Objek yang ada di ruangan: meja, kursi, lampu, pintu, jendela. Bagian dari tubuh:  mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut
Warna: merah, biru, hijau, kuning, kelabu.
Bagian dari objek:    jarum jam, lensa kaca mata, sol sepatu, kepala ikat pinggang, bingkai kaca mata.
Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat atau lamban atau tertegun atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme dan apakah ada perseverasi. Disamping menggunakan objek, dapat pula digunakan gambar objek.
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, dapatkah ia memilih nama objek tersebut dari antara beberapa nama objek.
Gunakanlah sekitar 20 objek sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.
Area bahasa di posterior ialah area kortikal yang terutama bertugas memahami bahasa lisan. Area ini biasa disebut area Wernicke; mengenai batasnya belum ada kesepakatan. Area bahasa bagian frontal berfungsi untuk produksi bahasa. Area Brodmann 44 merupakan area Broca.
Penelitian dengan PET (positron emission tomography) tentang meta-bolisme glukosa pada penderita afasia, menyokong spesialisasi regional tugas ini. Namun demikian, pada hampir semua bentuk afasia, tidak tergantung pada jenisnya, didapat pula bukti adanya hipometabolisme di daerah temporal kiri. Penelitian ini memberi kesan bahwa sistem bahasa sangat kompleks secara anatomi-fisiologi, dan bukan merupakan kumpulan dari pusat-pusat kortikal dengan tugas-tugas terbatas atau terpisah-pisah atau sendiri-sendiri.

Pemeriksaan sistem bahasa
Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi (pemahaman), repetisi (mengulang) dan menamai (naming).
Membaca dan menulis harus dinilai pula setelah evaluasi bahasa lisan. Selain itu, perlu pula diperiksa sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan tangan (kidal atau kandal).
Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang singkat dapat diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia selalu agrafia dan sering aleksia, dengan demikian pengetesan membaca dan menulis dapat dipersingkat. Namun demikian, pada pasien yang tidak afasia, pemeriksaan membaca dan menulis harus dilakukan sepenuhnya, karena aleksa atau agrafia atau keduanya dapat terjadi terpisah (tanpa afasia).

Pemeriksaan penggunaan tangan (kidal atau kandal)
Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang erat Sebelum menilai bahasa perlu ditentukan sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan tangan. Mula-mula tanyakan kepadn p irsion apakah ia kandal (right handed) atau kidal. Banyak orang kidal telah illnjarkan sejak kecil untuk menulis dengan tangan kanan. Dengan ilcmikian, mengobservasi cara menulis saja tidak cukup untuk menentukan npakah seseorang kandal atau kidal. Suruh pasien memperagakan tangan mana yang digunakannya untuk memegang pisau, melempar bola, dsb.
Tanyakan pula apakah ada juga kecenderungannya menggunakan tangan yang lainnya. Spektrum penggunaan tangan bervariasi dari kandal yang kuat; kanan sedikit lebih kuat dari kiri; kiri sedikit lebih kuat dan kanan dan kidal yang kuat. Ada individu yang kecenderungan kandal dan kidalnya hampir sama (ambi-dextrous)

Pemeriksaan berbicara - spontan
Langkah pertama dalam menilai berbahasa ialah mendengarkan bagaimana pasien berbicara spontan atau bercerita. Dengan mendengnrknn pasien berbicara spontan atau bercerita, kita dapat memperoleh data yang sangat berharga mengenai kemampuan pasien berbahasa. Cara Ini tidak kalah pentingnya dari tes-tes bahasa yang formal.
Kita dapat mengajak pasien berbicara spontan atau berceritera melalui pertanyaan berikut : Coba ceriterakan kenapa anda sampai dirawat di rumah sakit. Coba ceritakan mengenai pekerjaan anda serta hobi anda.
Bila mendengarkan pasien berbicara spontan atau bercerita, perhatikan:
Apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun-tegun, disprosodik (irama, ritme,
intonasi bicara terganggu).   Pada afasia sering ada gangguan ritme dan
irama (disprosodi).
Apakah   ada   afasia,    kesalahan   sintaks,   salah    menggunakan   kata
(parafasia,  neologisme), dan perseverasi.  Perseverasi sering dijumpai
pada afasia.
Parafasia. Parafasia ialah men-substitusi kata. Kita mengenai 2 jenis parafasia, yaitu parafasia semantik (verbal) dan parafasia fonomik (literal). Parafasia semantik ialah mensubstitusi satu kata dengan kata yang lain misalnya: "kucing" dengan "anjing".    Parafasia fonemik, ialah mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi yang lain, misalnya bir dengan kir, balon dengan galon.
Afasia motorik yang berat biasanya mudah dideteksi. Pasien berbicaranya sangat terbatas atau hampir tidak ada; mungkin ia hanya mengucapkan: "ayaa, ayaa, aaai, Hi".
Sesekali ditemukan kasus dimana pasien sangat terbatas kemampuan bicaranya, namun bila ia marah, beremosi tinggi, keluar ucapan makian yang cara mengucapkannya cukup baik.
Afasia ialah kesulitan dalam memahami dan/atau memproduksi bahasa yang disebabkan oleh gangguan (kelainan, penyakit) yang melibatkan hemisfer otak.
Didapatkan berbagai jenis afasia, masing-masing mempunyai pola abnormalitas yang dapat dikenali, bila kita berbincang dengan pasien serta melakukan beberapa tes sederhana.

Pada semua pasien dengan afasia didapatkan juga gangguan membaca dan menulis (aleksia dan agrafia)
Pada afasia semua modalitas berbahasa sedikit-banyak terganggu, yaitu bicara spontan, mengulang (repetisi), namai (naming), pemahaman bahasa, membaca dan menulis.
Pada lesi di frontal, pasien tidak bicara atau sangat sedikit bicara, dan mengalami kesulitan atau memerlukan banyak upaya dalam berbicara. Selain itu gramatikanya miskin (sedikit) dan menyisipkan atau mengimbuh huruf atau bunyi yang salah, serta terdapat perseverasi. Pasien sadar akan kekurangan atau kelemahannya. Pemahaman terhadap bahasa lisan dan tulisan kurang terganggu dibandingkan dengan kemampuan mengemukakan isi pikiran. Menulis sering tidak mungkin atau sangat terganggu, baik motorik menulis maupun isi tulisan.
Pada lesi di temporo-parietal pasien justru bicara terlalu banyak, cara mengucapkan baik dan irama kalimat juga baik, namun didapat gangguan berat pada, mem-formulasi dan menamai sehingga kalimat yang diucapkan tidak mempunyai arti. Bahasa fisan dan tulisan tidak atau kurang difahami, dan menulis secara motorik terpelihara, namun isi tulisan tak menentu. Pasien tidak begitu sadar akan kekurangannya.
Afasia jenis yang disebutkan pertama disebut afasia Broca, atau afasia motorik atau afasia ekspresif. Afasia jenis ke dua disebut jenis Wernicke atau sensorik atau reseptif.

Kadang dijumpai pasien dengan gangguan yang berat pada semua modalitas   bahasa.   Pasien   sama   sekali  tidak   bicara   atau   hanya   bicara sepatah   kata   atau   frasa,   yang   selalu   diulang-ulang,   dengan   artikulasi   (pengucapan) dan irama yang buruk dan tidak bermakna.
Hal ini disebut afasia global. Lesi biasanya melibatkan semua daerah bahasa di sekitar fisura sylvii.
Kadang afasia ditandai oleh kesulitan menemukan nama, sedangkan modalitas lainnya relatif utuh. Pasien mengalami kesulitan menamai sesuatu benda. Pada pasien demikian kita dengar ungkapan seperti : "anu, itu, kau, kau tahu kan, ya anu itu". Afasia amnestik ini sering merupakan sisa afasia yang hampir pulih, pada afasia yang tersebut terdahulu, namun dapat juga dijumpai pada berbagai gangguan otak yang difus. Afasia amnestik mempunyai nilai lokalisasi yang kecil.
Adakalanya digunakan kata afasia campuran. Sebetulnya kata ini kurang tepat, karena di klinik semua jenis afasia adalah campuran, hanya bidang tertentu lebih menonjol atau lebih berat.
Berbagai tes wawabcara, membaca, menulis, menggambar, ataupun melakukan tugas-tugas tertentu bias digunakan untuk mengetahui terjadinya kerusakan otak, dan tinggal dicocokkan dengan pemeriksaan CT-Scan pada otak. Pemeriksaan ini sangat penting untuk terapi dan rehabilitasi pasien.


F.     Asuhan Keperawatan
1.      Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan lesi area bicara otak (Afasia)
2.      Kurang pengetahuan  yang berhubungan dengan dasar-dasar terapi rehabilitasi
3.      Harga diri rendah kronik yang berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder akibat kehilangan fungsi bicara
4.      Kerusakan interaksi sosial yang berhubungan dengan gangguan bicara atau penurunan fungsi

KERUSAKAN KOMUNIKASI VERBAL
Data :
4  Mayor
Ketidakmampuan untuk mengucapkan kata-kata tetapi dapat mengerti orang lain atau

4  Minor
Napas Pendek

Yang Berhubungan Dengan Iskimea Dari Lobus Temporal Atau Trontal
Kriteria Hasil

Individu akan :
Memperlihatkan kemampuan yang meningkat untuk mengekspresikan diri
Mengungkapkan penurunan frustsi dengan komunikasi

Intervensi
Identifikasi metoda alternatif yang dapat digunakan orang tersebut untuk mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan dasar.
Jangan ubah ucapan, intonasi, atau jenis pesan Anda, karena pada tingkat orang dewasa
Anjurkan Keluarga untuk membagi perasaan-perasaan mengenai masalah-masalah dalam berkomunikasi
Untuk individu dengan hambatan bahasa
a.       Berkomunikasi tanpa tergesa-gesa, cara yang halus. Sopan dan format
b.      Berbicara dengan suara pelan, sedang,. Dengarkan dengan cermat; validasikan pemahaman mutualisme
c.       Gunaikan gerakan tubuh dan gambar-gambar
d.      Pertahankan agar pesan tetap sederhana; jangan gunakan istilah medis atau teknis
e.       Jika diperlukan interpreter
Klarifikasi bahasa apa yang digunakan di rumah
Upayakan untuk menggunakan jender dan usia yang sama dengan klien
Hindari interpreter dari Negara yang berlawanan, berbeda kebangsaan
Mintalah untuk menerjemahkan dengan kata yang tepat.

KURANG PENGETAHUAN
DATA :
4  Mayor
-        Mengungkapkan kurang pengetahuan atau keterampilan-keterampilan/permintaan informasi
-        Mengekspresikan suatu ketidakuratan persepsi status kesehatan melakukan dengan tidak tepat perilaku kesehatan yang dianjurkan atau yang diinginkan

4  Minor
-        Memperlihatkan atau mengekspresikan perubahan psikologi (mis, ansietas, depresi) mengakibatkan informasi atau kurang informasi


INTERVENSI :
Beri tahu tentang penatapelaksanaan terapi/rehabilitasi

HARGA DIRI RENDAH KRONIK
4  Mayor
§  Jangka panjang atau kronik:
§  Pengungkapan diri yang negative
§  Ekspresi rasa bersalah/malu
§  Evaluasi diri karena tidak dapat menangani kejadian
§  Menjauhi rasionalisasi/menolak umpan balik positif dan membesarkan umpan balik negative mengenai diri
§  Ragu untuk mencoba hal-hal/situasi baru

4  Minor
§  Sering kurang berhasil dalam kerja atau kejadian hidup lainnya
§  Penyelesaian diri berlebihan, bergantung pada pendapat orang lain
§  Buruknya penampilan tubuh (Kontak mata, postur, gerakan)
§  Tidak asertif/pasif
§  Keragu-raguan
§  Mencari jaminan secara berlebihan

Yang berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder akibat : Kehilangan fungsi tubuh

KRITERIA HASIL
Individu akan :
Memodifikasi harapan diri yang berlebihan dan tidak realistis
Mengungkapkan penerimaan keterbatasan
Mengidentifikasi aspek positif dari diri
Intervensi
Bantu individu untuk mengurangi tahapan ansietas yang ada
Tingkat perasaan individu terhadap diri
a.       Penuh perhatian
b.      Menghargai ruang pribadi individu
c.       Pastikan interpretasi Anda terhadap apa yang dikatakan ataudialami (“Apakah ini yang anda maksud?”)
Tidak membiarkan individu untuk mengisolasi diri

KERUSAKAN INTERAKSI SOSIAL
DATA :
4  Mayor
§  Melaporkan ketidakmampuan untuk menetapkan dan/atau mempertahankan hubungan suportif yang stabil
§  Ketidakpuasan dengan jaringan sosial

4  Minor
§  Isolasi sosial
§  Hubungan superficial
§  Menyalahi orang lain untuk masalah-masalah interpersonal
§  Menghindari orang lain
§  Kesulitan Interpersonal di tempat kerja
§  Orang lain melaporkan tentang pola interaksi yang bermasalah
§  Perasaan teng\tang tidak dimengerti
§  Perasaan tentang penolakan

KRITERIA HASIL
Individu akan :
1.      Menyatakan masalah dengan sosialisasi
2.      Mengidentifikasi perilaku baru untuk meningkatkan sosilaisasi efektif
3.      Melaporkan atau bermain peran terhadap penggunaan perilaku pengganti kontstruktif

Intervensi Generik
Berikan individu hubungan suportif
Bantu untuk mengidentifikasikan bagaimana stress dapat mencetuskan masalah
Dukung pertahanan kesehatan
Bantu untuk mengidentifikasi alternative tindakan
Bantu dalam menganalisa pendekatan yang berfungsi paling baik
Bermain peran situasi bermasalah. Diskusikan perasaan-perasaan
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Proses bicara melibatkan dua stadium utama aktivitas mental: (1) membentuk buah pikiran untuk diekspresikan dan memilih kata-kata yang akan digunakan, kemudian (2) mengatur motorik vokalisasi dan kerja yang nyata dari vokalisasi itu sendiri. Pembentukan buah pikiran dan bahkah pemilihan kata-kata merupakan fungsi area asosiasi sensorik otak. Sekali lagi, area Wemicke pada bagian posterior girus temporalis superior merupakan hal yang paling penting untuk kemampuan ini. Oleh karena itu, penderita yang mengalami afasia Wernicke atau afasia global tak mampu memformulasikan buah pikirannya untuk dikomunikasikan. Atau, bila lesinya tak begitu parah, maka penderita masih mampu memfontiulasikan pikirannya namun tak mampu menyusun kata-kata yang sesuai secara berurutan dan bersama-sama untuk mengekspresikan pikirannya. Seringkali, penderita fasih berkata-kata namun kata-kata yang dikeluarkannya tidak beraturan.
Afasia Motorik Akibat Hilangnya Area Broca. Kadang-kadang, penderita mampu menentukan apa yang ingin dikatakannya, dan mampu bervokalisasi, namun tak dapat mengatur sistem vokalnya untuk menghasilkan kata-kata selain suara ribut. Efek ini, disebut afasia motorik, disebabkan oleh kerusakan pada area bicara Broca, yang terletak di regio prefrontal dan fasial premotorik korteks kira-kira 95 persen kelainannya di hemisfer. Oleh karena itu, pola keterampilan motorik yang dipakai untuk mengatur laring, bibir, mulut, sistem respirasi, dan otot-otot lainnya yang dipakai untuk bicara dimulai dari daerah ini.











DAFTAR PUSTAKA

1.      Snell, Ricard S, Newroanatomi klinik – ed 2, Jakarta : ECG, 2001
2.      Lumlantoling, S.M., Newologi klinik – pemeriksaan fisik dan mental,
Jakarta : Balai penerbit fakultas kedokteran UI, 2000
3.      Boeis, et all, Buku ajar penyakit THT – ed.G, Jakarta : ECG,2001
4.      Carperito, Lynda J., Buku saku diagnosa keperawatan-ed-8, Jakarta : ECG, 2000





















Anak dengan autisme



BAB I
PENDAHULUAN

Anak dengan autisme tidak mampu berkomunikasi dengan keluarganya atau dunia luar, walupun ia memilki kecerdasan rata-rata. Ia tidak mengetahui orang tua atau orang lain yang dekat dengannya dan tidak berkomunikasi dengan kata-kata, isyarat/ ekspresi wajah. Ia mungkin hening, diam dan menarik diri atau mengambil sikap tubuh aneh atau berkomat-kamit tanpa arti. Kadang-kadang ia juga bisa beringas tanpa diramalkan sebelumnya. Ia akan mengalami kesulitan dalm pemberian makan danlatihan buang air.
            Autisme bisa ada sejak lahir atua dapat berkembang pada beberapa tahun pertama kehidupan si anak. Ini menyerang satu dari tigaribu anak, dan anak laki-laki 5 kali lebih abnyak mengalami autisme dibandingkan anak perempuan.
            Kelainan ini semakin bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 1966, diketahui 4-5 dari 10.000 anak menderita autisme yang meningkat menjadi 10-15 pada tahun 1966. Pada tahun 2002 diketahui bahwa sekitar 60 dari 10.000 anak menderita uatisme. Penderita autisme pada anak sebagian  besar adalah laki-laki, dengna perbandingan3-4 kali lebih banyak dari pada anak wanita. Ras dan etnic dan tingkat sosek tidak berpengaruh terhadap insiden autisme.
            Jika autisme didiagnosis, memerlukan nasehat spesialis di dalam perawatan anak. Mungkin dianjurkan melibatkan diri sebanyak mungkin dengan kegiatan anak, sehingga terpaks aberinteraksi dengan anda. Banyak dokterpercaya bahwa kontak fisik, dengna memegang dan menyentuh anak akan membantunya lebih responsif atau tanggap. Lebih banyak perhatian, kasih sayang dan perangsangna yang dapat diberikan kepadanya, makin baik kemajuan yang mungkin terjadi. Sebagian anak sembuh dai autisme dan dapat menempuh kehidupan normal, yang lain memerlukan perawatan khusus seumur hidup.





BAB II
PEMBAHASAN


  1. PENGERTIAN

Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala. (Sacharin, R, M, 1996 : 305)
Autisme Infantil adalah Gangguan kualitatif pada komunikasi verbal dan non verbal, aktifitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik yang terjadi sebelum usia 30 bulan.(Behrman, 1999: 120)
Autisme menurut Rutter 1970 adalah Gangguan yang melibatkan kegagalan untuk mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan), hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik dan konvulsif.(Sacharin, R, M, 1996: 305)
Autisme pada anak merupakan gangguan perkembangan pervasif (DSM IV, sadock dan sadock 2000)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan pervasif, atau kualitatif pada komunikasi verbal dan non verbal, aktivitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik berupa kegagalan mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan),hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik dan konvulsif serta penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas.

  1. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi 3-4 per 1000 anak. Perbandingan laki-laki dari wanita 3-4:1. Penyakit sistemik, infeksi dan neurologi (kejang) dapat menunjukan gejala seperti austik.

  1. ETIOLOGI

            Penyebab Autisme diantaranya
a.       Genetik (80% untuk kembar monozigot dan 20% untuk kembar dizigot) terutama pada keluarga anak austik (abnormalitas kognitif dan kemampuan bicara).
b.      Kelainan kromosim (sindrom x yang mudah pecah atau fragil).
c.       Neurokimia (katekolamin, serotonin, dopamin belum pasti).
d.      Cidera otak, kerentanan utama, aphasia, defisit pengaktif retikulum, keadaan tidak menguntungkan antara faktor psikogenik dan perkembangan syaraf, perubahan struktur serebellum, lesi hipokompus otak depan.
e.       Penyakit otak organik dengan adanya gangguan komunikasi dan gangguan sensori serta kejang epilepsi
f.       Lingkungan terutama sikap orang tua, dan kepribadian anak
Gambaran Autisme pada masa perkembangan anak dipengaruhi oleh
Pada masa bayi terdapat kegagalan mengemong atau menghibur anak, anak tidak berespon saat diangkat dan tampak lemah. Tidak adanya kontak mata, memberikan kesan jauh atau tidak mengenal. Bayi yang lebih tua memperlihatkan rasa ingin tahu atau minat pada lingkungan, bermainan cenderung tanpa imajinasi dan komunikasi pra verbal kemungkinan terganggu dan tampak berteriak-teriak.
Pada masa anak-anak dan remaja, anak yang autis memperlihatkan respon yang abnormal terhadap suara anak takut pada suara tertentu, dan tercengggang pada suara lainnya. Bicara dapat terganggu dan dapat mengalami kebisuan. Mereka yang mampu berbicara memperlihatkan kelainan ekolialia dan konstruksi telegramatik. Dengan bertumbuhnya anak pada waktu berbicara cenderung menonjolkan diri dengan kelainan intonasi dan penentuan waktu. Ditemukan kelainan persepsi visual dan fokus konsentrasi pada bagian prifer (rincian suatu lukisan secara sebagian bukan menyeluruh). Tertarik tekstur dan dapat menggunakan secara luas panca indera penciuman, kecap dan raba ketika mengeksplorais lingkungannya.
Pada usia dini mempunyai pergerakan khusus yang dapt menyita perhatiannya (berlonjak, memutar, tepuk tangan, menggerakan jari tangan). Kegiatan ini ritual dan menetap pada keaadan yang menyenangkan atau stres. Kelainann lain adalh destruktif , marah berlebihan dan akurangnya istirahat.
Pada masa remaja perilaku tidak sesuai dan tanpa inhibisi, anak austik dapat menyelidiki kontak seksual pada orang asing.

  1. CARA MENGETAHUI AUTISME PADA ANAK

Anak mengalami autisme dapat dilihat dengan:
a.       Orang tua harus mengetahui tahap-tahap perkembangan normal.
b.      Orang tua harus mengetahui tanda-tanda autisme pada anak.
c.       Observasi orang tua, pengasuh, guru tentang perilaku anak dirumah, diteka, saat bermain, pada saat berinteraksi sosial dalam kondisi normal.

Tanda autis berbeda pada setiap interval umumnya.
a.       Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau menjadi tegang bila diangkat ,cuek menghadapi orangtuanya, tidak bersemangat dalam permainan sederhana (ciluk baa atau kiss bye), anak tidak berupaya menggunakan kat-kata. Orang tua perlu waspada bila anak tidak tertarik pada boneka atau binatan gmainan untuk bayi, menolak makanan keras atau tidak mau mengunyah, apabila anak terlihat tertarik pada kedua tangannya sendiri.
b.      Pada usia 2-3 tahun dengan gejal suka mencium atau menjilati benda-benda, disertai kontak mata yang terbatas, menganggap orang lain sebagai benda atau alat, menolak untuk dipeluk, menjadi tegang atau sebaliknya  tubuh menjadi lemas, serta relatif cuek menghadapi kedua orang tuanya.
c.       Pada usia 4-5 tahun  ditandai dengan keluhan orang tua bahwa anak merasa sangat terganggu bila terjadi rutin pada kegiatan sehari-hari. Bila anak akhirnya mau berbicara, tidak jarang bersifat ecolalia (mengulang-ulang apa yang diucapkan orang lain segera atau setelah beberapa lama), dan anak tidak jarang menunjukkan nada suara yang aneh, (biasanya bernada tinggi dan monoton), kontak mata terbatas (walaupun dapat diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan tetapi bisa juga berkurang, melukai dan merangsang diri sendiri.

  1. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis yang ditemuai pada penderita Autisme :
a.       Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara) dan non verbal yang tidak atau kurang berkembang mereka tidak tuli karena dapat menirukan lagu-lagu dan istilah yang didengarnya, serta kurangnya sosialisasi mempersulit estimasi potensi intelektual kelainan pola bicara, gangguan kemampuan mempertahankan percakapan, permainan sosial abnormal, tidak adanya empati dan ketidakmampuan berteman. Dalam tes non verbal yang memiliki kemampuan bicara cukup bagus namun masih dipengaruhi, dapat memperagakan kapasitas intelektual yang memadai. Anak austik mungkin terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan bakat orang dewasa terpelajar yang idiot dan menghabiskan waktu untuk bermain sendiri.




b.      Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang sempit, keasyikan dengan bagian-bagian tubuh.
c.       Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada objek. Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa dimana anak tercenggang dengan objek mekanik.
d.      Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk memelihara lingkungan yang tetap (tidak menyukai perubahan), anak menjadi terikat dan tidak bisa dipisahkan dari suatu objek, dan dapat diramalkan .
e.       Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.
f.       Kontak mata minimal atau tidak ada.
g.      Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda, dan menggosok permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan sensitivitas terhadap rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap nyeri dan kurangnya respon terkejut terhadap suara keras yang mendadak menunjukan menurunnya sensitivitas pada rangsangan lain.
h.      Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada emosional
i.        Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat) saat berbicara, pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang tidak berujung pangkal, bentuk bahasa aneh lainnya berbentuk menonjol. Anak umumnya mampu untuk berbicara pada sekitar umur yang biasa, kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.
j.        Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara fungsional.
k.      Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan mengedipkan mata, wajah yang menyeringai, melompat, berjalan berjalan berjingkat-jingkat.


Ciri yang khas pada anak yang austik :
a.       Defisit keteraturan verbal.
b.      Abstraksi, memori rutin dan pertukaran verbal timbal balik.
c.       Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan atau dipikirkan orang lain).
Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah:
a.       Interaksi sosial dan perkembangan sossial yang abnormal.
b.      Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang normal.
c.       Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak fleksibel dan tidak imajinatif.
Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun.

  1. PENGOBATAN

Orang tua perlu menyesuaikan diri dengan keadaan anaknya, orang tua harus memeberikan perawatan kepada anak temasuk perawat atau staf residen lainnya. Orang tua sadar adanaya scottish sosiety for autistik children dan natinal sosiety for austik children yang dapat membantu dan dapat memmberikan pelayanan pada anak autis. Anak autis memerlukan penanganan multi disiplin yaitu terapi edukasi, terapi perilaku, terapi bicara, terapi okupasi, sensori integasi, auditori integration training (AIT),terapi keluarga dan obat, sehingga memerlukan kerja sama yang baik antara orang tua , keluarga dan dokter.

Pendekatan terapeutik dapat dilakukan untuk menangani anak austik tapi keberhasilannya terbatas, pada terapi perilaku dengan pemanfaatan keadaan yang terjadi dapat meningkatkan kemahiran berbicara. Perilaku destruktif dan agresif dapat diubah dengan menagement perilaku.
Latihan dan pendidikan dengan menggunakan pendidikan (operant konditioning yaitu dukungan positif (hadiah) dan hukuman  (dukungan negatif). Merupakan metode untuk mengatasi cacat, mengembangkan ketrampilan sosial dan ketrampilan praktis. Kesabaran diperlukan karena kemajuan pada anak autis lambat.
Neuroleptik dapat digunakan untuk menangani perilaku mencelakkan diri sendiri yang mengarah pada agresif, stereotipik dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Antagonis opiat dapat mengatasi perilaku, penarikan diri dan stereotipik, selain itu terapi kemampuan bicara dan model penanganan harian dengan menggunakan permainan latihan antar perorangan terstruktur dapt digunakan.
Masalah perilaku yang biasa seperti bising, gelisah atau melukai diri sendiri dapat diatasi dengan obat klorpromasin atau tioridasin.
Keadaan tidak dapat tidur dapat memberikan responsedatif seperti kloralhidrat, konvulsi dikendalikan dengan obat anti konvulsan. Hiperkinesis yang jika menetap dan berat dapat ditanggulangi dengan diit bebas aditif atau pengawet.
Dapat disimpulkan bahwa terapi pada autisme dengan mendeteksi dini dan tepat waktu serta program terapi yang menyeluruh dan terpadu.
      Penatalaksanaan anak pada autisme bertujuan untuk:
a.       Mengurangi masalah perilaku.
b.      Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan terutama bahasa.
c.       Anak bisa mandiri.
d.      Anak bisa bersosialisasi.
  1. PROGNOSIS
Anak terutama yang mengalami bicara, dapat tumbuh pada kehidupan marjinal, dapat berdiri sendiri, sekalipun terisolasi, hidup dalam masyarakat, namun pada beberapa anak penempatan lama pada institusi mrp hasil akhir. Prognosis yang lebih baik adalah tingakt intelegensi lebih tinggi, kemampuan berbicara fungsional, kurangnya gejala dan perilaku aneh. Gejala akan berubah dengan pertumbuhan menjadi tua. kejang-kejang dan kecelakaan diri sendiri semakin terlihat pada perkembangan usia.

DAFTAR PUSTAKA


Sacharin, r.m, 1996, Prinsip Keperawatan Pediatrik Edisi 2, EGC, Jakarta

Behrman, Kliegman, Arvin, 1999, Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15, Alih Bahasa Prof. DR. Dr. A. Samik Wahab, Sp. A (K), EGC, Jakarta

___,1995, Kesehatan Anak Pedoman Bagi orang Tua, Arcan, Jakarta

www.http://  e-smartschool.com/out/001/out001.004.asp

www.http:// enshol.muliply.com/journal/item16

www.http://  tk.unpad. ac. id/ jsp/berita_detail.jsp

www.http:// tabloid. Nikita.com/article.php3